Kian Santang yang
merupakan putra dari Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang yang
berasal dari keluarga Muslim. Ayah Nyai Subang Larang seorang syah
bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang
belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren Quro milik Syeh
Hasanuddin.
Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja adalah Raja Pajajaran yang
mempunyai dua orang permaisuri yaitu Kentring Manik Mayang dan Nyai
Subang Larang.
Dari Kentring Manik Mayang, Prabu Siliwangi mempunyai putra bernama Surawisesa yang kelak menjadi pewaris takhta Pajajaran. Kentring Manik ini merupakan adik dari Prabu Amuk Marugul, Raja Japura, di kawasan Pasundan bagian pesisir utara.
Dari Kentring Manik Mayang, Prabu Siliwangi mempunyai putra bernama Surawisesa yang kelak menjadi pewaris takhta Pajajaran. Kentring Manik ini merupakan adik dari Prabu Amuk Marugul, Raja Japura, di kawasan Pasundan bagian pesisir utara.
Dari pernikahanannya dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi
mempunyai dua orang putra dan satu orang putri, yaitu Raden Walang
Sungsang (Pangeran Cakra Buana), Nyi Mas Lara Santang (ibu Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati) dan yang ketiga Raden Kian Santang
ini. Ketiga anak ini dibesarkan dalam pengajaran Islam sehingga tumbuh
menjadi muslim dan muslimah yang taat. Sejak lahir Kian Santang sudah
menampakkan keistimewaannya yang antara lain sudah pintar membaca Al
Qur’an, membaca kejadian yang akan datang, tahu apa yang ada di pikiran
orang lain, suka menolong, dan lebih dekat dengan masyarakat miskin
ketimbang kalangan istana.
Asal Usul Prabu Kian Santang atau Syeh Sunan Rohmat Suci
Nama Kian Santang sudah melegenda di daerah Pasundan terutama dari cerita lesan kependekaran atau dunia persilatan. Bahkan Batalyon Infanteri 301 yang belokasi di Ngawi Jawa Timur juga bernama Batalyon Prabu Kian Santang. Saat ini Yonif 301/Prabu Kian Santang menjadi organik Kodam III/Siliwangi dan berkedudukan di Sumedang, Jawa Barat.
Kisah dari Prabu Kian Santang saat ini juga tidak lepas dari kisah
spiritual dan mistis terutama pada petilasan keramat Prabu Kian Santang.
Petilasan Prabu Kian Santang lebih dikenal dengan nama, makam Godog
Syeh Sunan Rahmat Suci yang mana berdiri di sebuah bukit di wilayah
Garut. Kisah bertemunya Kian Santang dengan Sayidina Ali R.A. di Mekka
juga menjadi kisah misteri karena keduanya hidup di masa yang berbeda.
Tapi kemungkinan nama Sayidina Ali di sini adalah orang lain yang
mempunyai nama sama dengan sahabat Nabi Muhammad tersebut.
Kisah Prabu Kian Santang, sebenarnya pertama kali dikisahkan oleh
Kakaknya Prabu Cakrabuana (Walang Sungsang) ketika menyebarkan Islam di
tanah Cirebon dan Pasundan. Prabu Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi
di Pajajaran (sekarang Kota Bogor). Pada usia 22 tahun tepatnya tahun
1337 masehi Prabu Kian Santang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang
saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan
dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal,
menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral
penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka
ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Prabu Cakrabuana, Kian Santang dan Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Agama Islam di Pasundan Pajajaran
Penyebaran agama Islam di tanah Pasundan Pajaran tak lepas dari sepak
terjang Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang atau Cakrabumi atau Ki
Samadullah, Kian Santang alias Syeh Sunan Rohmat Suci dan Syarif
Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah ini merupakan
keponakan dari Walang Sungsang dan Kian Santang serta merupakan anak
dari Nyi Mas Lara Santang dengan Syarif Adullah alias Syeh Maulana
Akbar. Dan pada saat itu, Kerajaan Islam pertama di tanah Pasundan
didirikan oleh Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang dan diberi nama
Nagara Agung Pakungwati Cirebon.
Prabu Kian Santang merupakan penyebar agama Islam di tanah Betawi
khususnya daerah Karawang, dulu memang tidak ada pemisah antara tatar
Sunda (yang diwakili oleh Kerajaan Pajajaran) dengan tanah Betawi.
Posisinya sebagai menak atau turunan Raja menyebabkan da’wah Kian
Santang cukup berpengaruh, latar belakang keilmuan dan keshalehannya
adalah warisan dari ibunya Nyi Mas Subang Larang.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari
Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dari pantai utara. Ia membawa
sejumlah pengikut agama Islam. Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat
bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah
artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para
wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar
Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh
Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut),
Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura
(Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan
naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam
atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran
fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya
merupakan tulisan tangan.
Prabu Kian Santang dan Cerita Persilatan
Di atas sudah disinggung kalau nama Kian Santang sangat melegenda di
daerah Pasundan terutama dari cerita lesan kependekaran atau cerita
persilatan. Dalam dunia persilatan Kian Santang dikenal juga dengan nama
Gagak Lumayung yang mempunyai kesaktian mandraguna. Konon dikisahkan
bahwa dengan ajian napak sancangnya,Kian Santang mampu mengarungi lautan
dengan berkuda saja. selain itu Kian Santang konon juga mempunyai Aji Suket Kalanjana
yang merupakan ilmu terawangan alam gaib, dan berkembang sebagai ilmu
yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan menggerakan benda tanpa
menyentuh (telekinetik).
Aji Suket Kalanjana ini berfungsi mengaktifkan seluruh panca indera.
Bereaksi terhadap gejala alam, baik alam sadar maupun alam mimpi. Versi
para guru spiritual yang menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu
yang didasarkan pada gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak
kemana saja, tapi tetap pada tempatnya semula. Artinya, orang yang
menguasai ilmu ini bisa memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain
tapi jasadnya tetap pada tempatnya.
Aji Suket Kalanjana ini juga dikuasai oleh Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Isi Aji Suket Kalanjana ini adalah “Niat
ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang hyang
pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing sipat podho
katon saking kersaning Allah”
Petilasan Prabu Kian Santang
Pada tahun 1400 M, Prabu Kian Santang diangkat menjadi raja Pajajaran
menggantikan Prabu Munding Kawati (Prabu Anapakem I). Ketika itu,
usianya delapan puluh lima tahun. Namun tidak lama kemudian, dia
melepaskan jabatannya. Tahta kerajaan dia serahkan pada Prabu
Panatayuda, putera sulung Munding Kawati.
Memang, sejak dulu Kiansantang kurang tertarik dengan jabatan dan
kekuasaan. Awalnya memang dia mendalami berbagai ilmu kanuragan. Tentu
saja ini ada hubungannya dengan kekuasaan. Sebab, jika ingin berkuasa
waktu itu, orang harus sakti. Namun akhirnya Kian Santang lebih suka
mendalami agama Islam dan menyebarkannya ke seluruh penjuru tanah
Pasundan. Apalagi kini usianya sudah lanjut.
Seperti sufi pada umumnya, fase perjalanan hidup diakhiri dengan
lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Konsentrasi pikiran hanya
tertuju padaNya. Kian Santang hindari segala perkara yang dapat
memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu Kian Santang
memilih uzlah, menjauhi keramaian dan gemerlap kehidupan istana.
Dikisahkan, seusai serah terima jabatan, Kian Santang pergi mencari
tempat sepi dengan membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung
Ciremai yang cukup tinggi dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di
sana, peti itu diletakkan di atas tanah. Ternyata si peti diam saja,
tidak godeg (bergoyang). Ini tanda bahwa tempat itu tidak cocok untuk
dihuni. Kemudian, Kian Santang meninggalkan tempat itu dan pergi ke arah
barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung, dia letakkan
lagi peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi isyarat
bagus. Maka tempat itu pun dia tinggalkan.
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut.
Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas
tanah. Tiba-tiba si peti godeg alias bergoyang-goyang. Ini pertanda
tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kian Santang tinggal hingga
wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.
Kian Santang wafat tahun 1419, dalam usia 106 tahun dan
dimakamkan di Garut situ. Kini tempat itu terkenal sebagai Makam Keramat
Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu kilo meter dari tempat
ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon dibangun Kian
Santang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali yang
berasal dari keluarga raja Pajajaran.
1 komentar:
maaf bukan so tau,
tapi nyai subang larang dan prabu siliwangi itu masi menganut kepercayaan (animisme)
karna syekh rohmat saja di islamkan oleh sayidina Ali karomallahuwajhah,
Posting Komentar