Scroling

Dari Abu Sa'id Al-Khudzri R.A, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah sekelompok orang duduk dan berdzikir kepada Allah Ta'ala, melainkan mereka akan dikelilingi para Malaikat, mendapatkan limpahan rahmat, diberikan ketenangan hati, dan Allah pun akan memuji mereka pada orang yang ada di dekat-Nya” (HR.Muslim)

Senin, 25 Agustus 2014

Kisah Prabu Kian Santang / Syech Sunan Rohmat Suci



Kian Santang yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang yang berasal dari keluarga Muslim. Ayah Nyai Subang Larang seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren Quro milik Syeh Hasanuddin.
Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja adalah Raja Pajajaran yang mempunyai dua orang permaisuri yaitu Kentring Manik Mayang dan Nyai Subang Larang. 
Dari Kentring Manik Mayang, Prabu Siliwangi mempunyai putra bernama Surawisesa yang kelak menjadi pewaris takhta Pajajaran. Kentring Manik ini merupakan adik dari Prabu Amuk Marugul, Raja Japura, di kawasan Pasundan bagian pesisir utara.

Dari pernikahanannya dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi mempunyai dua orang putra dan satu orang putri, yaitu Raden Walang Sungsang (Pangeran Cakra Buana), Nyi Mas Lara Santang (ibu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati) dan yang ketiga Raden Kian Santang ini. Ketiga anak ini dibesarkan dalam pengajaran Islam sehingga tumbuh menjadi muslim dan muslimah yang taat. Sejak lahir Kian Santang sudah menampakkan keistimewaannya yang antara lain sudah pintar membaca Al Qur’an, membaca kejadian yang akan datang, tahu apa yang ada di pikiran orang lain, suka menolong, dan lebih dekat dengan masyarakat miskin ketimbang kalangan istana.

Asal Usul Prabu Kian Santang atau Syeh Sunan Rohmat Suci


Nama Kian Santang sudah melegenda di daerah Pasundan terutama dari cerita lesan kependekaran atau dunia persilatan. Bahkan Batalyon Infanteri 301 yang belokasi di Ngawi Jawa Timur juga bernama Batalyon Prabu Kian Santang. Saat ini Yonif 301/Prabu Kian Santang menjadi organik Kodam III/Siliwangi dan berkedudukan di Sumedang, Jawa Barat.

Kisah dari Prabu Kian Santang saat ini juga tidak lepas dari kisah spiritual dan mistis terutama pada petilasan keramat Prabu Kian Santang. Petilasan Prabu Kian Santang lebih dikenal dengan nama, makam Godog Syeh Sunan Rahmat Suci yang mana berdiri di sebuah bukit di wilayah Garut. Kisah bertemunya Kian Santang dengan Sayidina Ali R.A. di Mekka juga menjadi kisah misteri karena keduanya hidup di masa yang berbeda. Tapi kemungkinan nama Sayidina Ali di sini adalah orang lain yang mempunyai nama sama dengan sahabat Nabi Muhammad tersebut.

Kisah Prabu Kian Santang, sebenarnya pertama kali dikisahkan oleh Kakaknya Prabu Cakrabuana (Walang Sungsang) ketika menyebarkan Islam di tanah Cirebon dan Pasundan. Prabu Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran (sekarang Kota Bogor). Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kian Santang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.

Prabu Cakrabuana, Kian Santang dan Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Agama Islam di Pasundan Pajajaran


Penyebaran agama Islam di tanah Pasundan Pajaran tak lepas dari sepak terjang Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang atau Cakrabumi atau Ki Samadullah, Kian Santang  alias Syeh Sunan Rohmat Suci dan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah ini merupakan keponakan dari Walang Sungsang dan Kian Santang serta merupakan anak dari Nyi Mas Lara Santang dengan Syarif Adullah alias Syeh Maulana Akbar. Dan pada saat itu, Kerajaan Islam pertama di tanah Pasundan didirikan oleh Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang dan diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon.

Prabu Kian Santang merupakan penyebar agama Islam di tanah Betawi khususnya daerah Karawang, dulu memang tidak ada pemisah antara tatar Sunda (yang diwakili oleh Kerajaan Pajajaran) dengan tanah Betawi. Posisinya sebagai menak atau turunan Raja menyebabkan da’wah Kian Santang cukup berpengaruh, latar belakang keilmuan dan keshalehannya adalah warisan dari ibunya Nyi Mas Subang Larang.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Prabu Kian Santang dan Cerita Persilatan


Di atas sudah disinggung kalau nama Kian Santang sangat melegenda di daerah Pasundan terutama dari cerita lesan kependekaran atau cerita persilatan. Dalam dunia persilatan Kian Santang dikenal juga dengan nama Gagak Lumayung yang mempunyai kesaktian mandraguna. Konon dikisahkan bahwa dengan ajian napak sancangnya,Kian Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. selain itu Kian Santang konon juga mempunyai Aji Suket Kalanjana yang merupakan ilmu terawangan alam gaib, dan berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik).

Aji Suket Kalanjana ini berfungsi mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap gejala alam, baik alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap pada tempatnya semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada tempatnya.

Aji Suket Kalanjana ini juga dikuasai oleh Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Isi Aji Suket Kalanjana ini adalah “Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing sipat podho katon saking kersaning Allah”

Petilasan Prabu Kian Santang


Pada tahun 1400 M, Prabu Kian Santang diangkat menjadi raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati (Prabu Anapakem I). Ketika itu, usianya delapan puluh lima tahun. Namun tidak lama kemudian, dia melepaskan jabatannya. Tahta kerajaan dia serahkan pada Prabu Panatayuda, putera sulung Munding Kawati.

Memang, sejak dulu Kiansantang kurang tertarik dengan jabatan dan kekuasaan. Awalnya memang dia mendalami berbagai ilmu kanuragan. Tentu saja ini ada hubungannya dengan kekuasaan. Sebab, jika ingin berkuasa waktu itu, orang harus sakti. Namun akhirnya Kian Santang lebih suka mendalami agama Islam dan menyebarkannya ke seluruh penjuru tanah Pasundan. Apalagi kini usianya sudah lanjut.

Seperti sufi pada umumnya, fase perjalanan hidup diakhiri dengan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Konsentrasi pikiran hanya tertuju padaNya. Kian Santang hindari segala perkara yang dapat memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu Kian Santang memilih uzlah, menjauhi keramaian dan gemerlap kehidupan istana.

Dikisahkan, seusai serah terima jabatan, Kian Santang pergi mencari tempat sepi dengan membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung Ciremai yang cukup tinggi dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di sana, peti itu diletakkan di atas tanah. Ternyata si peti diam saja, tidak godeg (bergoyang). Ini tanda bahwa tempat itu tidak cocok untuk dihuni. Kemudian, Kian Santang meninggalkan tempat itu dan pergi ke arah barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung, dia letakkan lagi peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi isyarat bagus. Maka tempat itu pun dia tinggalkan.

Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti godeg alias bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kian Santang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.

Kian Santang wafat tahun 1419, dalam usia 106 tahun dan dimakamkan di Garut situ. Kini tempat itu terkenal sebagai Makam Keramat Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu kilo meter dari tempat ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon dibangun Kian Santang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali yang berasal dari keluarga raja Pajajaran.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

maaf bukan so tau,
tapi nyai subang larang dan prabu siliwangi itu masi menganut kepercayaan (animisme)
karna syekh rohmat saja di islamkan oleh sayidina Ali karomallahuwajhah,

Posting Komentar