KH.Muhammad Dimyati yang biasa dipanggil dengan
Buya Dimyati merupakan sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik, beliau
lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak
kecil Buya Dimyati sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pon-pes Cadasari,
kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon.
Buya Dimyati sosok ulama yang cukup sempurna
dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu
syari’ah tapi juga menjalankan kehidupan dengan metode bertashauf, tarekat yang
di anutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku
sehari-hari beliau penuh tawadhu’,istiqomah ,zuhud dan ikhlas. Banyak dari
beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di
pesantren selalu di tolak dengan halus oleh Buya Dimyati begitupun ketika
beliau di beri sumbangan oleh para pejabat beliau selalu menolak dan
mengembalikan sumbangan tersebut, hal ini pernah dialami ketika Buya Dimyati di
beri sumbangan Oleh Mba Tutut ( Anak Mantan presiden Soeharto) sebesar 1 milyar
beliau mengembalikannya.
Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu
Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama
seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul
Musthofa di Jakarta dan masih banyaklagi murid-murid beliau yang mendirikan
pesantren.
Masa kecil Abuya dihabiskan di kampung
kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut ilmu, Abuya dididik langsung oleh
ayahandanya, Syaikh Muhammad Amin bin Dalin. Lalu melanjutkan berkelana
menuntut ilmu agama, sampai-sampai dalam usia sudah setengah baya. Di sekitar
tahun 1967-1968 M, beliau berangkat mondok lagi bersama putra pertama dan
beberapa santri beliau (hal. 168).
Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang
mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra
berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyathi,
ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada
satu tingkat di atas khalayak biasa.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah
Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad
Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah
Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak
lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata
Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau
mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh
wafat.(hal 396).
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta
untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke
Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang
‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol
sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau
banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di
kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’,
karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya
singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri
di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi.
Karomah.
Mahasuci Allah yang tidak membuat penanda
atas wali-Nya kecuali dengan penanda atas diri-Nya. Dan Dia tidak mempertemukan
dengan mereka kecuali orang yang Dia kehendaki untuk sampai kepada-Nya. (al
Hikam)
Wallahu a’lam. Ada banyak cerita tak masuk akal
dalam buku ini, namun kadar ”gula-gula” tidaklah terasa sebab penitikberatan
segala kisah perjuangan Abuya lebih diambil dari orang-orang yang menjadi saksi
hidupnya (kebanyakan dari mereka masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Abuya
memang sudah masyhur wira’i dan topo dunyo semenjak masih mondok diusia muda.
Di waktu mondok, Abuya sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan
istimewanya adalah menu makan Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu
menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau
mutola’ah. Sampai sudah menetap pun Abuya masih menjalankan keistiqamahannya
itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.
Di tahun 1999 M, dunia dibuat geger, seorang kiai
membacakan kitab tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak
percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya
pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir
itu setelah Khatam 4 kali khatam membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus
Munir lagi adalah, di mana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat
bangga kerana banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam
Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam
bertanya padanya, "Dari mana kamu (Bahasa Arab)?" Si Kyai menjawab,
"Dari Indonesia." Maka penjaganya langsung bilang, "Oh di sini
ada setiap malam Juma'at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan
duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati
beliau, sehinggalah beliau mula membaca al-Qur'an, maka penziarah lain akan
meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri.
Mendengar hal itu Kyai tadi kaget, dan berniat
untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut.
Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan
bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani
ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.
Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya,
dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Subhanallah! Misal seperti; masa
perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan;
kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di
Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH Rukyat. Ada lagi kisah
Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan
bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia.
Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa Abuya tiap malam jumat
ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal lain yang tidak masuk
akal tapi benar terjadinya dan ada (berikut saksi-saksi hidupnya).
Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu
Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama
seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul
Musthofa di Jakarta dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang mendirikan
pesantren
Tanggal 3 october 2003 tepat hari jum’at dini
hari KH.Muhammad Dimyati dipanggil oleh Alloh SWT keharibaannya. Banten telah
kehilangan sosok ulama yang karismatik dan tawadhu’yang menjadi tumpuan
berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan hanya dari
masyarakat Banten saja tapi juga umat islam pada umumnya. Beliau dimaqomkan tak
jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang. Hingga kini maqom tersebut selalu
ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di tanah air.
Atas meninggalnya ulama krismatik di Desa Cidahu,
Cadasari, Pandeglang-Banten, KH Abuya Muhammad Dimyati, hari Jum'at (3/10) umat
Islam sangat kehilangan. Ulama besar yang jadi tumpuan berbagai kalangan
masyarakat untuk dimintai nasihatnya bukan saja masyarakat Banten yang
kehilangan, namun umat Islam umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar